Jumat, 16 November 2012

OKSIGENASI JARINGAN


PEMBAHASAN

A.      PENGANGKUTAN  OKSIGEN
a.         Pengangkutan Oksigen ke Jaringan
Sistem pengangkut  O2 di dalam tubuh terdiri atas paru dan  sistem kardiovaskuler. Pengangkutan O2 menuju jaringan tertentu  bergantung pada jumlah O2 yang masuk ke dalam paru, adanya pertukaran gas dalam  paru yang adekuat, aliran darah menuju jaringan, serta kapasitas  darah untuk mengangkut O2. Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi jalinan vaskular di dalam jaringan serta curah jantung. Jumlah O2 di dalam darah di tentukan oleh jumlah O2 yang larut, jumlah hemoglobin dalam darah serta afinitas hemoglobin terhadap O2.
Reaksi Hemoglobin & Oksigen
Dinamika reaksi pengikatan O2 oleh hemoglobin menjadikannya sebagai pembawa O2 yang sangat serasi. Reaksi pengikatan hemoglobin dengan O2 lazim di tulis sebagai Hb + O2…….HbO2. Mengingat setiap molekul hemoglobin mengandung empat unit Hb, maka dapat di nyatakan  sebagai Hb4 dan pada kenyataannya bereaksi dengan empat molekul O2 membentuk Hb4O8
Struktur kuaterner hemoglobin menentukan afinitasnya trehadap O2. Saat O2 diikat untuk pertama kalinya, ikatan yang memegang globin akan di lepas, menghasilkan suatu kedudukan relaksasi (R) yang akan membuka tempat pengikatan O2. Hasil akhirnya ialah peningkatan afinitas terhadap O2 mencapai 500x lebih besar. Di jaringan, reaksi ini berjalan terbalik, melepaskan O2.
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen, yaitu kurva yang menggambarkan hubungan presentase saturasi kemampuan pengangkutan O2 oleh hemoglobin dengan Po2.
Apabila darah diseimbangkan dengan  100% O2 (Po2=760 mm Hg), hemoglobin normal akan tersaturasi 100%. Pada keadaan tersaturasi penuh, setiap gram hemoglobin normal mengandung 1,39 mL O2. Namun, di dalam darah umumnya  terdapat sejumlah kecil derivate hemoglobin yang inaktif, dan nilai yang diperoleh in vivo umumnya lebih rendah

b.        Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Afinitas Hemoglobin terhadap Oksigen
Terdapat tiga keadaan penting yang mempengaruhi kurva disosiasi hemoglobin-oksigen: pH, suhu, dan kadar 2,3-difosfogliserat (DPG);2,3-DPG. Peningkatan suhu atau penurunan pH menggeser kurva ke kanan. Apabila  kurva bergeser, dibutuhkan  Po2 yang lebih tinggi agar hemoglobin dapat mengikat sejumlah tertentu O2.
Berkurangnya afinitas hemoglobin terhadap O2 saat pH darah menurun dikenal  sebagai efek Bohr dan hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa hemoglobin terdeoksigenasi (deoksihemoglobin) lebih aktif mengikat H+ di bandingkan oksihemoglobin. 2,3 DPG banyak terdapat di dalam sel darah merah. Pada persamaan ini, peningkatan  konsentrasi 2,3 DPG  akan menggeser reaksi ke kanan, menyebabkan lebih banyak O2 yang di bebaskan.

c.         Pengangkutan Oksida Nitrit oleh Hemoglobin
Fero tempat pengikat O2 pada hemoglobin juga mengikat oksida nitrit (NO), serta didapatkan  tempat pengikat NO tambahan pada rantai β. Afinitas tempat kedua ini ditingkatkan oleh O2, sehingga hemoglobin akan mengikat NO di paru dan  melepaskannya di jaringan, dan menyebabkan vasodilatas.



B.       PENGANGKUTAN KARBON DIOKSIDA
a.         Nasib Karbon Dioksida dalam Darah
Kelarutan CO2 dalam darah sekitar 20 kali lebih besar daripada kelarutan O2, sehingga pada tekanan parsial yang sama didapatkan jauh lebih banyak CO2 dibandingkan O2 dalam larutan sederhana. Sejumlah CO2 dalam sel darah merah akan bereaksi dengan gugus amino dari protein, terutama hemoglobin, membentuk senyawa karbamino.
                           H                      H
 

CO2 + R – N            R – N

                          H                     COOH
Oleh karena hemoglobin terdeoksigenasi lebih banyak mengikat  H+ dibandingkan oksihemoglobin serta lebih mudah membentuk senyawa karbamino, terikatnya O2 pada hemoglobin akan menurunkan afinitasnya terhadap CO2 (efek Haldane). Sebagai akibatnya, darah vena akan mengandung lebih banyak CO2 dibandingkan darah arteri
Dalam plasma, CO2 bereaksi dengan protein plasma membentuk sejumlah kecil senyawa karbamino, dan sebagian kecil CO2 mengalami hidrasi; namun reaksi hidrasi berlangsung lambat karena tidak terdapatnya anhidrase karbonat.
       CO2                                                              Cl-
Oval: CO2 + H2O                 H2CO3                       H+ + HCO3-
	anhidrase
	karbonat         HHb             H+ + Hb-

 








b.        Pergeseran Klorida
Saat darah melewati kapiler, terjadi peningkatan kandungan HCO3- didalam sel darah merah yang jauh lebih besar dibandingkan dalam plasma, sehingga sekitar 70% HCO3- yang dibentuk sel darah merah akan memasuki plasma. Kelebihan HCO3- yang meninggalkan sel darah merah akan ditukar dengan Cl-. Suatu proses yang di perantarai oleh Band 3, suatu protein membrane utama.

Tabel 35-2 Nasib CO2 di dalam darah
Dalam plasma
1.         Terlarut
2.         Dengan protein plasma membentuk senyawa karbamino
3.         Hidrasi H+ dibufer, HCO3- di dalam plasma
Dalam sel darah merah
1.         Terlarut
2.         Pembentukan karbamino-Hb
3.         Hidrasi, H+ dibufer, 70% HCO3- memasuki plasma
4.         Pergeseran Cl- ke dalam sel, mosm dalam sel meningkat

Ringkasan Pengangkutan Karbon Dioksida
Untuk mudahnya, pada tabe 35-2 diringkaskan berbagai nasib yang dialami CO2 dalam plasma dan sel darah merah. Kemampuannya untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan CO2 oleh darah dinyatakan oleh peredaran antara garis yang menggambarkan CO2 yang larut dengan garis yang menunjukan kandungan CO2 total pada kurva disosiasi CO2
Dari sekitar 49 mL CO2 dalam setiap desiliter darah arteri, 2,6 mL berada dalam bentuk larut, 2,6 mL berbentuk senyawa karbamino dan 43,8 mL berbentuk HCO3-. Di dalam jaringan terjadi penambahan 3,7 mL CO2 per desiliter darah; 0,4 mL tinggal dalam bentuk terlarut, 0,8 mL membentuk senyawa karbamino dan 2,5 mL membentuk HCO3-.pH darah turun dari 7,40 mejadi 7,36. Di dalam paru-paru, prosesnya terbalik, dan 3,7 mL CO2 dikeluarkan melalui alveoli. Melalui cara ini, pada keadaan istirahat sekitar 200 mL CO2 per menit diangkut dari jaringan ke paru untuk dikeluarkan. Pada waktu latihan fisik, jumlah yang diangkut jauh lebih besar. Perlu diketahui bahwa dalam 24 jam, jumlah CO2 tersebut setara dengan lebih dari 12.500 meq H+

C.      PERTUKARAN GAS
a)      Gas berpindah mengikuti penurunan gradien tekanan
Tujuan akhir bernafas adalah secara terus menerusmenyediakan pasokan oksigen segar untuk diserap oleh darah dan mengeluarkan karbondioksida dari darah. Darah berfungsi sebagai sistem transportasi untuk Oksigen dan karbondioksida antara paru dan jaringan, dengan sel jaringan mengekstrasi oksigen dari darah dan mengeliminasi karbondioksida ke dalamnya. Pertukaran gas di tingkat kapiler paru dan kapiler jaringan terjadi melalui difusi pasif sederhana oksigen dan karbondioksida mengikuti penurunan gradien tekanan parsial. Tidak terdapat mekanisme transportasi aktif bagi kedua gas tersebut.
Udara atmosfer normal yang kering adalah campuran gas-gas yang mengandung sekitar 79% nitrogen dan 21% oksigen, dengan persentasi karbondioksida, uap H2O, gas lain, dan polutan hampir dapat diabaikan.
Gas-gas yang larut dalam cairan, misalnya darah atau cairaan tubuh lain, juga dianggap menimbulkan tekanan parsial. Jumlah gas yang akan larut dalam darah bergantung pada daya larut (solubilitas) gas dalam darah dan tekanan parsial gas dalam udara alveolus tempat darah terpajan.
Apabila, seperti pada kasus oksigen, tekanan parsial suatu gas dalam alveolus lebih tinggi  daripada tekanan parsial gas tersebut dalam darah yang memasuki kapiler paru, tekanan parsial alveolus yang lebih tinggi mendorong lebih banyak oksigen masuk kedalam darah. Oksigen berdifusi dari alveolus dan larut dalam darah samapai PO2 darah setara dengan Po2 alveolus. Sebaliknya, apabila tekanan parsial suatu gas dalam alveolus lebih rendah daripada tekanan parsialnya di darah seperti yang terjadi pada karbondioksida. Tekanan parsial alveolus yang lebih rendah meyebabkan sebagian karbondioksida  keluar dari larutan(jadi tidak lagi terlarut) dalam darah. Setelah keluar dari larutan, CO2 berdifusi kedalam alveolus sampai Pco2 darah setara dengan Pco2 alveolus. Perbedaan tekanan parsial antara darah paru dan udara alveolus tersebut dikenal sebagai gradien tekanan parsial.

b)        Oksigen masuk dan CO2 keluar dari darah di paru secara pasif mengikuti penurunan gradien tekanan parsial.
Komposisi udara alveolus tidak sama dengan udara atsmofer yang dihirup karena dua alasan. Pertama, segera setelah udara atsmofer memasuki saluran pernapasan, udara tersebut mengalami kejenuhan H2O akibat pajanan yang lembab. Uap air juga menimbulkan tekanan persial seperti gas lain-nya. Pada suhu tubuh, tekanan parsial uap H2O adalah 47 mmHg. Pelembaban (humidifikasi)udara yang masuk pada dasarnya menyebabkan “pengeceran” tekanan parsial gas-gas yang masuk sebesar 47 mmHg, karena jumlah tekanan parsial harus sama gengan tekanan atsmofer sebesar 760 mmHg. Pada udara lembab, PH2O = 47 mmHg, Pn2 = 563 mmHg. Dan Po2 = 150 mmHg.
           Kedua, Po2 alveolus juga lebih rendah dari pada Po2 atsmofer karena udara inspirasi agar tercampur dengan sejumlah besar udara lama yang berada di paru dan ruang mati pada akhir ekspirasi sejumlahnya (kapasitas residual fungsuonal). Hanya sekitar sepertujuh udara alveolus total yang diganti oleh udara segar dari atsmofer setiap kali bernapas. Dengan demikian pada akhirnya inspirasi, kurang dari 15% udara di alveolusyang merupakan udara segar. Akibat humidifikasi dan rendahnya tingkat pertukaran alveolus, Po2 alveolus rata-rata adalah 100 mmHg. Dibandingkan dengan Po2 atsmofer sebesar 160 mmHg.
           Situasi serupa dalam arah berlawanan berlaku untuk Co2. Karbon dioksida, yang secara terus menerus diproduksi oleh jaringan tubuh sebagai produk sisa metabolisme, secara konstan ditambahkan ke darah di tinkat kapiler sistemik. Di kapiler paru, CO2 berdifusi mengikuti gradien tekanan parsial dari darah ke dalam alveolus dan kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui ekspirasi. Seperti O2, PCO2 alveolus relatif konstan sepanjang siklus pernapasan, tetap dengan angka yang lebih rendah, yaitu 40 mmHg. Fentilasi secara terus menerus mengganti Po2 alveolus, sehingga tekanan tersebut relatif tingi, dan secara terus menerus mengeluarkan CO2, sehingga Pco2 alveolus relatif rendah. Dengan demikian, gradien tekanan parsial antara alveolus dan darah dapat dipertahankan, sehingga O2 dapat masuk ke dalam dan CO2 keluar dari darah.
           Darah yang masuk ke kapiler paru adalah vena sistematik yang dipompa ke paru melalui arteri pulmonalis. Darah ini, yang baru kembali dari jaringan tubuh, mengandung O2 yang relatif rendah dengan Po2 40 mmHg, dan relatif mengandung banyak CO2. Dengan PCO2 46 mmHg. Pada saat mengalir melalui kapiler-kapiler paru, darah ini terpajan ke udara alveolus. Karena PO2 alveolus 100 mmHg (lebih tenggi dari pada PO2 darah yang masuk ke paru yaitu 40 mmHg), O2 berdifusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsial dari alveolus ke dalam darah sampai tidak lagi terdapat gradien. Pada saat meninggalkan kapiler paru, darah memiliki PO2 setara dengan PO2 alveolus, yaitu 100 mmHg. Gradien tekanan parsial untuk CO2 memiliki arah yang berlawanan. Darah yang masuk ke kepiler paru memiliki PCO2 46 mmHg, sementara PCO2 alveolus hanya 40 mmHg. Karbondioksida berdifusi dari darah ke dalam  alveolus sampai PCO2 berada dalam keseimbangan dengan PCO2 alveolus. Dengan demikian, darah yang meninggalkan kapiler paru memiliki PCO2 40 mmHg. Sewaktu melewati paru, darah menyerap O2 dan menyerahkan CO2 hanya dengan proses difusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsial yang terdapat antara darah dan alveolus. Setelah meninggalkan paru, darah yang sekarang memiliki PCO2 100mmHg dan PCO2 40 mmHg. Kembali ke jantung untuk kemudian dipompa ke jaringan tubuh sebagai darah arteri sistematik

c)      Faktor di luar gradien tekanan parsial mempengaruhi kecepatan perpindahan gas.
Menurut hukum difusi Fick, kecepatan difusi suattu gas melintasi selembar jaringan juga bergantung pada luas permukaan dan ketebalan membran yang harusvdilewati gas serta koefisien difusi gas tertentu. Dalam keadaan normal, perubahan kecepatan pertukaran gas terutama ditentukan oleh perubahan garadien tekanan persial antara darah dan alveolus, karena pada keadaan istirahat faktor lain ini relatif konstan.
Selama olahraga, pada saat tekanan darah paru meningkat akibat peningkatan curah jantung, banyak kapiler yang baru sebelumnya tertutup menjadi terbuka.
Hal ini meningkatkan luas permukaan darah yang tersedia untuk proses pertukaran. Selain itu, selama olahraga membran alveolus lebih teregang dari pada normal karena peningkatan tidal volume (bernapas lebih dalam). Peregangan itu meningkatkan luas permukaan alveolus dan menurunkan ketebalan membran alveolus. Secara kolektif, perubahan-perubahan di atas meningkatkan pertukaran gas selama olahraga.
Keadaan patologis sangat menurunkan luas permukaan paru dan pada gilirannya, menurunkan kecepatan pertukaran gas.
Pertukaran gasyang tidak adekuat juga dapat terjadi apabila ketebalan sawar yang memisahkan udara dan darah meningkat secara patologis. Apabila ketebalan meningakat, kecepatan pertukaran gas berkurang karena gas harus menempuh lintasan yg lebih jauh untuk berdifusi.
Ketebalan meningkat pada :
1.      edema paru
2.      fibrosis
3.      pneumo
d)     Pertukaran gas melintasi kapiler sistematik juga mengikuti penurunan gradien tekanan parsial.
Seperti kapiler paru, O2 dan CO2 berpindah antara darah kapiler sistematik dan sel jaringan melalui proses difusi pasif mengikuti penurunan gradien tekanan parsial.
Semakin aktif suatu jaringan melakukan metabolisme, semakin rendah PO2 sel turun dan semakin rendah PCO2 sel meningkat. Akibat peningkatan gradie tekanan parsial darah ke sel, lebih banyak O2 yang berdifusi dari darah ke dalam sel dan lebih banyak CO2 yang keluar dengan arah berlawanan sampai PO2 dan PCO2 darah mencapai keseimbangan dengan sel-sel disekitarnya. Dengan demikian jumlah O2 yang dipindahkan ke sel dan jumlah CO2 yang dibawa keluar sel bergantung pada tingkat metabolisme sel.

e)      Gambar Respiratory


D.      TRANSPORTASI GAS
a)        Sebagian besar O2 dalam darah diangkat oleh hemoglobin.
Oksigen yang diserap oleh darah di paru harus diangkut kejaringan agar dapat digunakan oleh sel-sel. Sebaliknya CO2 yang diproduksi oleh sel-sel harus diangkut ke paru untuk dieliminasi.
Darah dalam darah, oksigen terdapat dalam dua bentuk: larut secara fisik dan terikat secara kimiawi ke hemoglobin.
Hemoglobin, suatu molekul protein yang mengandung besi, memiliki kemampuan untuk, membentuk ikatan longgar reversibel dengan O2.
Apabila tidak keterikatan dengan O2, Hb disebut sebagai Hemoglobin tereduksi; apabila berikatan dengan O2, Hb disebut sebagai Oksihemoglobin (HbO2).
b)        PO2 adalah faktor utama yang menentukan persen saturasi hemoglobin.
Hemoglobin dianggap jenuh apabila semua Hb yang d mengangkut O2 secara maksimum. Persen saturasi hemoglobin (%Hb), suatu ukuran beberapa banyak Hb yang berikatan dengan O2 dapat bervariasi dari 0% sampai 100%.
Faktor terpenting yang menentukan % saturasi Hb adalah PO2 darah yang pada gilirannya berkaitan dengan kosentrasi O2 yang secara fisik larut dalam darah. Menurut hukum aksi massa, apabila kosentrai salah satu bahan yang terlibat dalam sebuah reaksi revelsibel meningkat, reaksi akan mengarah ke sisi yang berlawanan. Sebaliknya, apabila kosentrasi salah satu zat bekurang , reaksi akan mengarah ke sisi tersebut.

c)         Dengan bertindak sebagai depot penyimpanan, Hemoglobin mendiring transfer netto O2 dari alveolus ke darah.
          Hb memang berperan penting dalam memungkinkan perpindahan sejumlah besar O2 sebelum PO2 darah seimbang dengan jaringan disekitarnya. Hb melakukannya dengan bertindak sebagai “depot penyimpanan” untuk O2 menyingkirkan O2 dari larutan segera setelah O2 memasuki darah sari alveolus. Karena hanya O2 yang larut yang berperan meentukan PO2 . O2 yang tersimpan di Hb tidak ikut menentukan PO2 . pada saat darah sistemik masuk ke kapiler paru , PO2-nya jauh lebih rendah dari pada PO2 alveolus. Sehingga O2 segera ber-difusi ke dalam darah dan meningkatkan PO2  darah. Segera setelah PO2 meningkat, persentase Hb yang dapat meningkat O2 juga meningkat. Seperti dinyatakan dalam kurva O2 – Hb. Akibatnya, sebagian besar O2 yang berdifusi ke dalam darah berkaitan dengan Hb dan tidak menentukan PO2 darah.
Situasi yang sebaliknya berlaku di tingkat jaringan, Karena PO2 darah yang masuk ke kapiler sistemik lebih tinggi dari pada PO2 jaringan sekitarnya.


d)        Tempat pengikatan oksigen di hemoglobin memiliki afinitas paling besar untuk karbon monoksida dibandingkan untuk O2.
Karbon monoksida (CO) dan O2 bersaing untuk menempati tempat pengikatan yang sama di Hb, tetapi afinita Hb terhadap CO2 adalah 240 kali lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan ikatan antara Hb dan O2 ikatan CO dan Hb dikenal sebagai karboksihemoglobin (HbCO). Karena Hb lebih cenderung berkaitan dengan CO, keberadaan CO walaupun sedikit dapat mengikat Hb dalam jumlah yang ralatif besar, sehingga tidak tersedia Hb untuk mengangkut O2. Walaupun kosentrasi Hb dan PO2 normal, kandungan O2 darah sangat berkurang. Apabila CO yang ada cukup banyak, sel-sel akan mati akibat kekurangan O2 . selain toksisitas CO, adanya HbCO menggeser kurva O2-Hb ke kiri.

e)         Sebagian besar CO2 diangkut di arah sebagai bikarbonat.
Sewaktu darah arteri mengalir melalui kapiler jaringan, CO2 berdifusi cara: (1) terlarut secara fisik, (2) terikat ke Hb, dan (3) sebagai bikarbonat,
Seperti O2 yang larut, jumlah CO2 yang secara fisik larut dalam darah bergantung pada PCO2. Karena dalam darah CO2 lebih larut dari pada O2. Proporsi CO2 total dalam darah yang secara fisik larut lebih besar dibandingkan dengan O2. Walaupun demikian, hanya 10% dari kandunagn CO2 total darah diangkut dengan cara ini pada kadar PCO2 vena sistemik normal.
Tiga puluh persen CO2 lainnya berkaitan dengan Hb untuk membentuk karbomino hemoglobin (HbCO2).
Sejauh ini cara terpenting untuk mengangkut CO2 adalah sebagai bikarbonat (HCO2), yaitu 60% CO2 diubah menjadi HCO3 oleh reaksi kimia berikut, yang berlangsung di dalam sel darah merah :
                  karbonat
                  anhidrase
CO2 + H2O        H2CO3         H+  +  HCO3-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar